Jumat, 26 September 2008

Berkembangan Bersama Otokritik

BERKEMBANG BERSAMA OTO-KRITIK


Kiai ‘Mbeling’ Emha pada suatu kesempatan pernah menceritakan sebuah lelucon yang cukup menggelitik.

“Celaka, celaka…!” demikian teriak seorang muslim dengan sangat panik kepada temannya.
“Kenapa? Ada apa?” temannya jadi ikut-ikutan panik meskipun tidak tahu juntrungnya.
“Kamu tahu, kalau kita menyebut Tuhan kita dengan Allah Akbar?”, tanya orang yang panik tadi. Temannya menggangguk kecil dengan tatapan mata yang masih penuh tanda tanya. Temannya meneruskan, “Bukankah kita tiap hari memanggil-manggil nama-Nya dengan keras-keras dan berteriak-teriak? Itu kan berarti Tuhan kita sangat jauh dengan kita, sampai-sampai kita harus memanggilnya dengan Maha Besar dan berteriak-teriak bahkan dengan menggunakan pengeras suara”.
Temannya masih mangu-mangu, belum tahu ke mana arah pembicaraan, “Lha memang kenapa?”
“Tahu gak bahwa saudara-saudara kita, ada yang memanggil Tuhan dengan sebutan yang sangat dekat, yaitu Om!!!”
Temannya mulai mengerti ke mana arah kebingunganya.
“Dan lebih celaka lagi! Saudara-saudara kita yang lain memanggil Tuhan dengan sebutan yang lebih dekat lagi. BAPA!!!!!”

Cerita di atas cukup jelas untuk disimak oleh masing-masing pribadi. Orang Hindu menyebut Tuhannya dengan Om, dan orang Katholik dan Kristen memanggil Tuhan dengan sebuah Bapa. Cerita lain diberikan oleh Romo Azis Mardopo, seorang Romo pendamping mahasiswa di Yogyakarta pada era tahun 1990an. Cerita ini tidak ada hubungannya dengan cerita di atas, dan juga diceritakan pada tempat dan waktu yang berbeda pula. Romo Azis Mardopo berkata kepada mahasiswa Katholik:

“Saya agak prihatin dengan semangat dan euforia kalian dalam beribadah. Coba lihat, ketika ada misa di Gereja, ketika Romo mengatakan ‘Tuhan Beserta Kita’ maka umatnya akan menjawab dengan agak-agak malas-malasan ‘Dan sertamu juga’ jawabannya bahkan terkesan menggumam, tidak jelas. Mengapa kita tidak mencontoh saudara-saudara kita. Perhatikan saja, ketika Imam meneriakkan ‘Allah Akbar’, maka umatnya akan dengan lantang, semangat dan penuh percaya diri menjawab ‘Allah Akbar’. Mereka sangat bersemangat sekali. Jauh dibandingkan kalian pemuda-pemuda Katholik yang kelihatannya loyo!’

Dua cerita di atas tidak perlu diuraikan lagi. Sudah cukup jelas. Jauh lebih baik menyampaikan kritik terhadap diri untuk berkembang, dari pada mengkritik orang lain, dan memaksa orang lain menyesuaikan diri dengan kita. Sangat tidak elegan memaksa orang lain untuk menghormati diri kita. Jika kita menghormati orang lain sebagaimana layaknya, maka orang lain pun akan dengan sendirinya menghormati kita. Dan jika orang yang kita hormati tidak menghormati kita dengan layak, biarkan saja dan tidak usah dipaksa untuk menghormati kita. Orang itu pasti tidak akan mempunyai teman, dan seandainya dia tetap punya banyak teman, nah, sebaiknya kita yang melakukan koreksi diri. Jangan-jangan kita belum menghormati orang itu sebagaimana layaknya. Dan yang juga lebih penting lagi, kita tidak hanya hidup di dunia ini. Tul gak???

Rabu, 24 September 2008

Garuda-ku

GARUDA-KU


Kadang saya menyesal mempunyai lambang burung garuda yang selalu menoleh ke kiri. Tolehannya mungkin bermaksud berwibawa, akan tetapi bagi saya seperti seorang yang melengos, emoh melihat atau mendengarkan orang di depannya. Sama persis dengan pejabat dan politisi di negara kita yang selalu melengos ketika dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya. Bedanya kalau burung garuda selalu menoleh ke kiri, kalau pejabat dan politisi kadang ke kiri kadang ke kanan, tergantung angin. Sambil melengos politisi tersebut akan berkata, ‘itu bukan wewenang saya’, atau mungkin ‘saya sedang menunggu laporan’. Aneh, padahal itu jelas-jelas wewenangnya dan semua orang sudah tahu, tapi dia masih menungggu laporan dari bawahannya, yang ketika ditanya juga akan menjawab dengan jawaban yang sama, atau mungkin sedang tidak berada di tempat.

Suatu saat, pada tahun 2002, rombongan Presiden Megawati berkunjung ke Italia, sehabis melawat ke Perancis untuk perundingan Paris-Club, yang pada intinya mau mengatakan bahwa Indonesia tidak mampu membayar hutang yang menumpuk, alias, tolong donk beri waktu lagi. Anehnya rombongan itu datang bersama anak dan keluarganya, tinggal di hotel yang sangat mewah, menyewa mobil mewah dan menyempatkan belanja di tempat-tempat yang mewah pula. Lha itu uang dari mana, mending buat nyicil utang dikit-dikit. Ketika di Roma, Presiden ditanya oleh salah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang tugas studi di sana. Kebetulan mahasiswa tersebut mendapat bea siswa bukan dari pemerintah Indonesia, jadi berani berbicara agak sedikit lancang:

“…..nikmatnya hidup bersama, harmoni dan kedamaian tampaknya memudar karena berbagai kerusakan yang membahayakan integrasi bangsa kita. Dengan hati gelisah, kami mengikuti munculnya persoalan-persoalan baru di negeri kita, seperti berkurangnya penghormatan akan nilai-nilai moral bangsa, penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik, banyak orang yang terbunuh dalam konflik kekerasan setiap hari, hutan yang hancur dengan kecepatan 2,5 juta hektar per tahun, setiap warga negara yang mesti menanggung hutang negara sebesar 7 juta rupiah, anak SD yang drop out 16 juta, orang-orang yang melaksanakan kejahatan kemanusiaan dibiarkan memperoleh imunitas, dan orang-orang yang hilang tidak ditanyakan lagi keberadaannya. Apakah semua ini dapat diatasi dengan lebih baik dengan memegang teguh hukum yang berlaku di mana keadilan ditegakkan? (dikutik dari http://www.mirifica.net)

Bahasanya halus, tapi isinya keras…. Dan bisa anda tebak, apa jawaban Presiden tercinta kita waktu itu??? Yup…benar. Melengos kayak burung garuda, sambil berkata, ‘tidak perlu saya jawab karena di dalamnya itu sebetulnya sudah ada jawabannya!’

Ya ampyunn………….

Minggu, 21 September 2008

Harga Sebuah Nyawa

HARGA SEBUAH NYAWA


Kalau Anda ditanya, berapa harga sebuah nyawa? Pastilah dengan spontan Anda menjawab, ‘sangat berharga’. Kalau dipaksa untuk menjawab, berapa rupiah, atau berapa dollar harga sebuah nyawa, kemungkinan Anda akan menganggap bahwa orang yang menanyakan sangat merendahkan harga nyawa sebuah manusia. Atau dengan kata lain, harga sebuah nyawa manusia tidak dapat diukur dengan rupiah atau dollar.

Tapi apakah realitas menunjukkan demikian? Di Indonesia, sebuah negara yang sarat dengan religi dan hukum dijunjung dengan sangat tingginya (sampai-sampai hanya beberapa orang yang dapat menggapainya), sebuah nyawa manusia harganya sangat murah. Untuk sebuah zakat bernilai tidak lebih dari Rp. 100.000, lebih dari 20 orang meninggal. Itu baru kasus yang ada akhir-akhir ini. Kalau ditilik mundur ke belakang, wah… akan lebih tragis. Berapa nyawa TKI (atau lebih halusnya nakerwati) yang melayang demi meraup rupiah di negara asing? Berapa ratus orang yang tiap hari mempertaruhkan nyawa dengan duduk di atas kereta listrik dengan menghemat beberapa ribu rupiah? Hampir tiap hari di ada berita melayangnya nyawa manusia untuk nilai rupiah yang relatif kecil, atau orang yang mempertaruhkan nyawanya demi manfaat rupiah yang demikian kecil.

Lagi-lagi, salah siapa? Mengapa hal itu bisa terjadi? Nyawa manusia mungkin dapat dipertaruhkan untuk sesuatu yang berkaitan dengan isme atau nasionalisme. Mati demi kemerdekaan, jihad, membela agama atau sejenisnya. Tapi demi uang ribuan rupiah? Yang jelas bukan salah mereka yang meninggal ketika mempertaruhkan uang ribuan rupiah tersebut. Mereka boleh dibilang berada pada kondisi ‘zero’. Kalau untung bisa dapat makan, memperpanjang usia beberapa hari. Kalau tidak, ya mati juga tidak apa-apa. Lebih baik mati cepat dari pada mati karena kelaparan. Jangan salahkan mereka. Lalu salah siapa? Ebit G Ade bilang, tanya saja pada rumput yang bergoyang.

Kamis, 18 September 2008

Agama Kendaraan Politik yang Mewah

AGAMA = KENDARAAN POLITIK YANG MEWAH


Agama dan politik bagaikan dua buah lagu yang berlomba-lomba untuk menduduki puncak top hits. Dalam satu periode, agama berada di atas politik, dan periode lain politik yang berada di atas agama. Banyak partai politik yang menggunakan isu-isu agama untuk meraih kekuasaan, dan setelah kekuasaan diraih, agama kembali dicampakkan, ada konstituen agama disayang, tidak ada konstituen agama ditendang. Ada pula agama yang menggunakan politik sebagai sarana untuk menyebarkan misi atau dakwah, dan selalu berusaha untuk mengontrol perilaku para politisi agar tidak kebablasan dalam memegang amanah yang diberikan rakyat.

Di Indonesia, negara yang telah merdeka secara semu, jauh lebih banyak politik yang menggunakan agama sebagai sarana untuk meraih kekuasaan. Dan memang harus diakui, bahwa hanya di Indonesialah, agama masih laku dijual sebagai konsumsi politik. Di banyak negara demokrasi yang lain, agama sudah tidak laku, alias mereka lebih melihat kapasitas wakil mereka dari pada melihat agama dari wakil mereka.

Sebenarnya logikanya sederhana, ketika ada suatu partai yang berlandaskan agama, atau didirikan oleh suatu kelompok agama tertentu, maka pemeluk agama lain akan sulit sekali untuk memberikan dukungan. Meskipun mereka berkoar-koar sebagai nasionalis yang akan menampung semua aspirasi rakyat, hal tersebut tetap akan sulit untuk diterima oleh pemeluk agama lain. Lebih parah lagi, jika suatu agama mempunyai banyak partai….nah apa gak lebih bingung lagi tuh pemilihnya. Dan yang lebih parah pangkat dua lagi adalah, dalam suatu agama ada kelompok aliran tertentu, dan kelompok aliran tersebut mempunyai banyak partai!!!! Apa kagak salah tuh….

Dalam suatu kasus, penyelesaian secara sederhana ada dua macam, yaitu Ya dan Tidak. Jika yang terlibat sangat banyak, maka akan muncul kemungkinan ketiga yaitu di antara Ya dan Tidak. Jika masih belum cukup, paling ada kemungkinan keempat yang merupakan terobosan pemecahan dari masalah tersebut. Jadi logika sederhananya, dalam suatu negara paling banyak ada empat partai. Tetapi di Indonesia…..

Apa tidak membingungkan rakyat? Jika ada masalah sikap negara terhadap konflik Timur Tengah, maka sikapnya adalah Mendukung atau Tidak Mendukung. Paling pol ada alternatif ketiga yaitu Abstain. Atau muncul alternatif keempat yaitu Wait and See. Tapi kalau di Indonesia ada 30 partai lebih?? Sikap apa saja yang akan dikeluarkan oleh ke-30an partai tersebut. Para pendiri partai berkedok bahwa mendirikan partai adalah hak setiap warga negara. Memang betul sekali. Tetapi apa yang akan disumbangkan oleh partai-partai tersebut??? Pendiri partai lebih berkesan oportunities, suatu hal yang sangat memalukan di negara demokrasi seperti Malaysia, tetapi masih diagung-agungkan di Indonesia.

Denny JA, salah satu pengamat politik terkenal di Indonesia, meyatakan bahwa idealnya Indonesia hanya memiliki lima atau enam partai saja. Satu partai mewakili nasionalis, satu atau dua partai mewaikili agama, satu partai adalah Partai Golkar, dan satu atau dua partai lagi menampung aspirasi yang lain. Itu sudah cukup. Energi yang masih tersisa dipergunakan untuk membangun negara bukan untuk menciptakan partai yang mengejar kekuasaan.

Almarhum Harry Roesli pernah membuat anekdot, bahwa kebobrokan politisi dan pemerintah Indonesia memang sengaja dibiarkan oleh penunggu Surga. Tujuannya adalah ketika ada orang mati dengan register orang Indonesia, pekerjaan pejabat atau politisi, maka tanpa perlu banyak pertimbangan langsung masuk neraka. Yah…etung-etung mengurangi pekerjaan. Tetapi, kalian orang Indonesia yang bukan pejabat, tunggu dulu, jangan buru-buru masuk surga. Ikuti prosedur yang benar.

Selasa, 16 September 2008

Siapa Harus Dibunuh?

SIAPA YANG HARUS DIBUNUH?

Dengan alasan tidak ada yang bertindak, maka sekelompok orang secara represif menyerang tempat hiburan malam yang masih tetap buka di bulan puasa. Dengan alasan ditunggangi oleh kelompok tertentu, maka sebuah aksi damai diserang dan peserta aksi damai tersebut dianiaya. Dengan alasan menjual barang haram, maka seorang penjual minuman keras disiram dengan minuman keras yang dijualnya. Dan masih banyak lagi… tetapi????

Mengapa mereka tidak menyerang seorang anggota DPR yang tertangkap basah menikmati seorang perempuan muda? Mengapa mereka tidak menyerang seorang Jaksa yang dengan jelas-jelas memeras orang yang terkena kasus bahkan sampai milyaran rupiah? Mengapa mereka tidak menyerang sarang wakil rakyat yang membagi-bagi uang perjalan dinas sampai milyaran rupiah? Mengapa mereka tidak menyerang oknum-oknum aparat yang jelas-jelas menjadi backing penjualan minuman keras dan barang haram lainnya? Mengapa mereka tidak menyerang seorang PNS dengan pangkat Kepala Seksi tetapi mempunyai banyak rumah mewah dan mobil mewah?

Saya bertanya kepada mereka, siapa yang lebih layak dibunuh, seorang wanita yang melacurkan dirinya karena menghidupi anak-anaknya atau seorang koruptor milyaran rupiah yang juga menjual jabatan, menjual harga dirinya dan juga akan mencari pelacur kelas elite? Sebelum kalian membunuh salah satu dari kedua orang tersebut, lihat dulu, bahwa di sebelah sana, di mana aparat-aparatnya bersih-bersih, jumlah pelacur dan penjahat jalanan sangat minim.

Senin, 15 September 2008

Marhabhan ya Ramadhan

MARHABHAN YA RAMADHAN

Sabtu Wage, 13 September 2008, Ahmad Tohari menulis di Suara Merdeka Semarang sebuah tulisan dengan judul ‘Perbaikan diri’. Sebuah refleksi iman yang mendalam yang mungkin kurang disadari oleh khalayak banyak, dan tentu saja, oleh penulis blog ini. Bayangkan saja, jika saat ini kita berumur 25 tahun, maka paling tidak secara sadar, kita telah bertemu dengan bulan puasa sebanyak 12 atau 13 kali. Dan sebanyak itulah kita (mudah-mudahan) menjalankan puasa. Jadi jika ada orang yang sudah berumur 50 tahun atau bahkan 60 tahun, sudah banyak kali melakukan ibadah puasa dalam hidupnya, bertemu dengan Ramadhan secara sadar dan meminta maaf kepada handai tolannya puluhan kali. Point penting dalam tulisan beliau adalah, apakah ada perbaikan diri setiap kita melakukan puasa???? Itu sebuah pertanyaan yang sangat mendalam dan jika dijawab secara sadar dan jujur, maka jawabannya mungkin adalah tidak. Mungkin juga tidak tahu. Tapi apakah kita berani dengan lantang menjawab IYA!

Jika dirunut lebih panjang, sejak krisis di Indonesia yang terjadi (katanya) tahun 1997, maka paling tidak sudah 11 kali bangsa ini yang kebanyakan memeluk agama muslim telah melakukan puasa, berlatih menekan hawa nafsu, diajak untuk peduli dengan sesama dan segala atribut ramadhan lainnya. Tapi secara jujur, coba jawab, apa bedanya kondisi sekarang dengan kondisi krisis tahun 1997 tersebut. Saya sendiri tidak akan mengatakan berapa kali saya bertemu ramadhan, tetapi jawaban saya kurang lebih sama dengan Anda yang jujur, bahwa hampir boleh dibilang tidak ada perbaikan.

Setiap kali datang Ramadhan, maka muncul tuntutan menutup tempat hiburan malam, dengan lantang berkata ‘jangan bohong, ini lagi puasa’ atau ‘puasa-puasa kok ngrasani orang’. Yah, kata-kata tersebut sangat benar adanya. Akan tetapi akan timbul kesan, berarti kalau tidak puasa hiburan malam boleh-boleh saja, boleh bohong, boleh ngrasani orang dan lain-lainnya. Orang yang biasa ke lokalisasi hanya berpuasa selama sebulan dengan kebiasaannya itu, setelah Ramadhan lewat, ya jajan lagi sepuasnya. Makna puasa menurut Dai seribu umat adalah latihan, kawah candradimuka bagi umat beriman. Dai tersebut mencontohkan Susi Susanti (yang kebetulan malah bukan umat muslim). Begini analoginya, ‘Setelah Susi Susanti masuk ke pelatnas dan berlatih mati-matian, maka dalam satu tahun berikutnya, prestasinya sangat luar biasa. Puncaknya adalah meraih medali emas Olimpiade untuk pertama kalinya dalam sejarah olah raga Indonesia (khotbah tersebut terjadi sekitar tahun 1993-an). Demikian juga kita, setelah berpuasa dan berlatih mengekang hawa nafsu, maka dalam sebelas bulan berikutnya maka kita akan menjadi umat yang tangguh dalam menghadapi cobaan, amar makruf nahi mungkar’.

Itulah point yang paling penting. Dalam puasa kita bukannya hanya menahan hawa nafsu kita selama satu bulan, tetapi itu merupakan latihan bagi sebelas bulan berikutnya, dan kemudian satu bulan lagi berlatih pada Ramadhan tahun depan. Dengan demikian akan selalu ada perbaikan diri setiap kali kita bertemu ramadhan, bukannya hanya menjalaninya seperti layaknya ritual biasa. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka Insya Allah, akan ada perbaikan diri dalam setiap insan, dan Indonesia akan lebih baik dari pada sekarang.
O ya, bagi Anda yang tidak beragama muslim jangan senyam senyum dulu. Berapa kali Anda bertemu Natal dan Paskah, atau Nyepi, Waisak dan segala perayaan hari besar yang lain. Konsepnya adalah sama dan serupa. Berapa kali Anda merayakan Paskah dan setelah itu kebiasaan buruk Anda berjalan seperti sebelum merayakan Paskah bahkan mungkin lebih buruk (mudah-mudahan ini tidak terjadi). Berpuasa diajarkan pada hampir setiap sistem keagamaan. Jadi puasa pada hakekatnya adalah baik dan penting dalam kehidupan beragama kita masing-masing.

Jumat, 12 September 2008

Lagi: Salah Siapa?

Jum’at 12 September 2008 terjadi lagi keributan kecil (mungkin juga besar) di kalangan rakyat kelas bawah. Seorang ibu-ibu protes besar kepada penjual minyak tanah karena hanya diberi jatah 5 liter setelah antri beberapa jam. Itu pun dijual dengan harga yang dianggap ngawur. Kata penjualnya, yang kebetulan sudah uzur dan agak kurang pendengaran (kata halus untuk tuli), harga minyak tanah per liter Rp. 3.500 liter tetapi pada saat transaksi meminta Rp. 4.000 per liter. Ibu itu sangat marah dan menyebut-nyebut nama makhluk hidup yang suka menyalak-nyalak berkali-kali. Juga ditambah dengan hewan pengerat lain yang diberi akhiran ‘an’. Berkali-kali kedua kata tersebut diucapkan kepada orang tua tersebut di hadapan banyak orang!!! Walahualam…..

Pengantri lain yang cukup sabar berusaha meredakan suasana dengan berkata, ”Sabar bu, sabar”. Tetapi ibu yang kalap tadi tetap tidak perduli. Kata-katanya semakin menjadi-jadi. Akhirnya ibu tadi pergi naik sepeda motor dengan memboncengkan anak perempuannya yang masih kecil.

Sepintas sepertinya ibu tadi terlalu over. Yach… uang Rp. 500 saja membatalkan puasa yang pahalanya jauh lebih besar dari pada rupiah yang dipertaruhkan. Tetapi, apakah memang demikian. Kita lihat saja fakta yang ada. Seorang caleg bupati di daerah Jawa Timur jadi stress karena tidak terpilih dan menanggung hutang sampai milyaran rupiah. Juga ada seorang istri caleg bupati di daerah Jawa Tengah yang juga stress karena suaminya gagal menjadi bupati dan kehilangan uangnya milyaran rupiah. Juga masih banyak data caleg yang jadi stress, stroke, dan berbagai macam masalah setelah mereka gagal menjadi pemimpin, yang katanya merupakan ‘amanah’ untuk mengayomi rakyat.

Bagi saya sendiri, yang sebenarnya bukan orang kaya, uang Rp. 500 memang tidak ada artinya. Tetapi belum tentu saya bisa bersikap legowo ketika saya dirugikan oleh orang lain senilai Rp. 5 juta rupiah. Contoh caleg yang stress pun ternyata tidak bisa mengendalikan dirinya ketika rugi Rp. 5 milyar rupiah. Jadi….. yang sebenarnya sama saja. Hanya level ibu tadi baru sampai Rp. 500 rupiah. Kita belum tentu lebih baik dari pada ibu tadi, dan juga bapak tua yang sengaja mengambil keuntungan dari krisis energi di Indonesia Raya.

Jika ditinjau secara lebih mendalam lagi, sebenarnya krisis minyak tanah atau secara makro krisis energi di Indonesia ini salah siapa? Listrik byar pet karena kurang batu bara, padahal teman saya yang kerja di perusahaan batu bara di Kalimantan mengatakan dengan tegas ‘siapa bilang tidak ada batu bara? Tuh kalau mau ambil berapa ton juga ada!” Sembari menjelaskan bahwa ada bukit yang telah dikeruk batu baranya sehingga menjadi lembah. Kata seorang purnawirawan jenderal yang konon sudah dikebiri ketika tertangkap oleh Fretilin, ‘kita berdiri di atas lautan minyak, tetapi kita kekurangan minyak’.

Lalu ini semua salah siapa? Apakah salah Kepala Suku republik ini? Wah, agak berat juga. Menyalahkan ibu yang marah-marah tadi atau orang tua penjual minyak tanah saja tidak berani, kok malah menyalahkan yang dipertuan agung penguasa republik ini. Datuk republik ini juga tak kuasa menyelesaikan masalah ini, meskipun sebenarnya merupakan mantan tumenggung pertambangan dan energi dan juga telah dibantu seorang patih yang sangat mahir dalam berdagang.

Atau ini jangan-jangan salah Tuhan sendiri? Mengapa Tuhan tidak menciptakan kenyamanan dan hidup bagi insan ciptaan-Nya. Wah ini, lebih ngawur lagi. Lha terus salah siapa? Kalau si ibu tadi diberi kebijaksanaan berupa minyak tanah gratis, masih ada jutaan ibu-ibu lain yang tidak kebagian minyak tanah sehingga siap menyebut semua penghuni kebun binatang dengan fasih disertai intonasi yang indah layaknya WS Rendra. Saya jadi punya pelajaran berharga, yaitu untuk tidak mengajari anak saya nama-nama binatang. Jadi nanti kalau di jalan ada orang yang menyebut-nyebut nama binatang dengan tidak hormat, anak saya tidak mengerti alias cuek-cuek saja.

Rabu, 10 September 2008

Dosa Terbesar

DOSA TERBESAR

Sang Khalik duduk di meja kerjanya sambil mengutak-atik lap top yang ada di depannya. Wajahnya terlihat cerah dan nafasnya menunjukkan bahwa diri-Nya puas. Sesaat kemudian, Dia memanggil ajudan terpercayanya yang telah sekian lama dengan setia mengabdi.
"Iya Pak", ajudan setianya datang dengan tegap dan penuh percaya diri.
"Kamu tahu kan kalau ini sudah hampir saatnya?" tanya Sang Khalik kepada ajudannya.
"Betul Pak!" jawab ajudanya dengan sigap.
"Baik. Sekarang kamu hubungi koordinator ruang kanan dan koordinator ruang kiri untuk segera mempersiapkan kedatangan penghuni-penghuninya. Juga kamu siapkan kriteria penghuni mana yang layak di kanan dan penghuni mana yang layak di kiri".
"Segera Pak!"
Ajudannya segera bergegas pergi dan mulai melakukan koordinasi. Koordinator ruang kanan dan kiri dihubungi, juga para bawahannya mulai disuruh untuk menghitung kriteria-kriteria masing-masing calon penghuni yang telah menunggu. Anak buahnya segera bertindak. Uji kelayakan segera dilakukan dengan menggunakan metode-metode statistik yang canggih yang telah mereka kuasai sekian lama. Regresi bayessian, structural equation modelling, partial least square dan tetek bengek lainnya sudah dikuasai di luar kepala.
Alhasil, keesokan harinya, Sang Khalik kembali duduk di meja kerjanya, membuka lap top, dan di situ sudah ada pesan bahwa semuanya telah selesai dikerjakan. Sang Khalik mengangguk-angguk puas dan tersenyum. Dia segera beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ruangan di sebelah kanan. Ketika masuk ke ruangan itu, Sang Khalik terkejut sekali. Hanya ada sedikit sekali penghuni ruangan sebelah kanan. Tidak seperti yang telah dibayangkan sebelumnya. Tetapi wajah-Nya tetap tenang dan berwibawa. Disentilnya telunjuk kiri, dan ajudan yang setia segera mendekat.
"Hanya sedikit sekali penghuni ruangan sebelah kanan". Kata itu tidak jelas, apakah bertanya atau hanya menggumam. Ajudan-Nya menjawab
"Ini semua telah sesuai dengan prosedur yang ada. Metode statistik yang dipergunakan telah sesuai dan alat analisis yang dipergunakan juga telah tepat. Semua asumsi yang ada telah terpenuhi. Memang hanya ada sedikit sekali yang memenuhi apa yang telah Bapak gariskan kepada mereka melalui 25 utusan yang telah dikirim".
"Hmmm…" Sang Khalik menggumam. "Baiklah, Aku ingin ruangan sebelah kanan ini berisi penghuni yang lebih banyak dari pada yang sekarang. Aku yang membuat kebijakan, maka sekarang Aku akan memperbaharuinya. Coba metode statistik yang digunakan dibalik sehingga semua yang pernah melakukan apa yang aku gariskan pindah ke ruangan sebelah kanan. Tidak peduli mana yang lebih banyak, apakah pelanggaran atau ketaatan. Yang penting, yang pernah melakukan pesan-Ku pindah ke ruangan kanan".
"Baik Pak". Ajudan-Nya segera memanggil bagian IT untuk segera memprogram ulang komputer induk. Ajudan itu berbisik-bisik dan manajer IT manggut-manggut menerima bisikan itu. Setelah itu, ajudan itu juga menghubungi manajer-manajer bagian terkait untuk melaksanakan perintah dari Sang Khalik. Manajer-manajer itu semuanya sangat terlatih dan taat, juga pintar. Boleh dibilang tidak pernah ada kesalahan dalam melaksanakan perintah.
Beberapa waktu berlalu, Sang Khalik kembali memasuki ruangan sebelah kanan dan melihat bahwa banyak sekali penghuni ruangan itu. Sang Khalik tersenyum puas dan memandang semua penghuni itu dengan tersenyum. Ajudan dan petugas yang lain juga ikut lega. Tiba-tiba telepon Sang Khalik berbunyi. Diangkatnya telepon itu dan terdengar sebuah suara
"Halo. Ini koordinator ruangan sebelah kiri". Sebuah suara yang terdengar agak keras. Ya.. memang itulah karakter koordinator ruangan sebelah kiri. Tidak pernah hormat dengan siapapun dan tidak perduli dengan apapun.
"Iya, ada apa?" Sang Khalik tetap menjawab dengan tenang.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Ruangan saya boleh dibilang hampir kosong. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak kita".
"Baik akan segera dikirim", Sang Khalik menjawab dengan tenang dan penuh percaya diri. Ketika masih merenung memikirkan siapa yang harus dipindah ke ruangan kiri, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari salah satu kerumunan para penghuni. Kegaduhan itu muncul dari sekelompok orang yang berpakaian putih-putih yang kelihatannya tidak puas dengan kondisi yang ada. Ajudan agak kaget dan segera memerintahkan anak buahnya untuk mengatasi kondisi tersebut agar lebih terkendali. Tetapi Sang Khalik melambaikan tangan-Nya pertanda bahwa diri-Nya ingin mendekati kerumunan pembuat gaduh tersebut. Ajudan hanya diam saja ketika Sang Khalik berjalan mendekati kerumunan itu.
"Ada yang mau disampaikan?" sapa Sang Khalik ramah dan bijaksana.
"Benar!" sahut salah satu dari pembuat gaduh tersebut. Saya mau protes. Ini tidak adil. Kami adalah bagian dari kelompok yang selalu mentaati segala kebijakan yang telah Engkau berikan. Hampir-hampir kami tidak pernah melanggar aturan yang telah Kau buat. Bahkan kami secara pro-aktif ikut menegakkan peraturan yang ada baik secara halus maupun kasar. Itu semua demi tegaknya garis-garis yang telah Kau sampaikan kepada kami melalui ke-25 duta yang telah Kau kirim sendiri. Tetapi kenapa sekarang banyak orang yang tidak mentaati pesan-Mu berada di sini. Di ruangan yang sama dengan kami?" suaranya berapi-api dan penuh semangat. Sang Khalik diam, tenang memandang kelompok tersebut. Setelah beberapa saat, Sang Khalik mengambil telepon dan mulai menelpon.
"Halo, koordinator ruangan sebelah kiri. Aku telah menemukan calon-calon penghuni ruanganmu. Segera akan dikirim!"
Dosa yang paling besar adalah merasa bahwa dirinya paling baik dan tidak berdosa

Kamis, 04 September 2008

Way to Heaven

AGAMA = WAY TO HEAVEN? NOT WAY TO LIFE


Indonesia sebagai negara yang ‘katanya’ beragama, mempunyai banyak sekali kegiatan keagamaan. Televisi, radio atau mass media yang lain banyak sekali menampilkan topik keagamaan. Acara keagamaan seperti pengajian, kelompok kitab suci, sembahyangan juga banyak sekali. Tetapi, kalau kita cermati, tindakan-tindakan yang bertentangan dengan agama tetap marak dilakukan. Korupsi jalan terus, pungli tiada henti, mental calo, mementingkan kelompok atau golongan, ngrasani orang dan berbagai aktivitas negatif lain berjalan dengan baik-baik saja.
Aneh kan???
Kata orang, itu karena setiap khotbah keagamaan di berbagai acara keagamaan cenderung mengajarkan way to heaven. Yaitu bagaimana cara untuk masuk surga. Tetapi tidak pernah menyampaikan masalah way to life. Atau bagaimana kita bisa hidup berdampingan dan menghargai sesama, dan juga lingkungan. Mengapa belum ada fatwa haram tentang membuang sampah sembarangan, fatwa haram untuk melanggar lampu merah, atau fatwa haram bagi naik sepeda motor tanpa helm. Zinah adalah haram, tetapi yang menanggung akibatnya adalah orang tersebut. Akan tetapi ketika ada korupsi, melanggar lampu merah, membuang sampah ke sungai, maka yang menanggung akibatnya adalah orang banyak.

Note: Diadopsi dari buku Lukisan Kaligrafi oleh Gus Mus.

Rabu, 03 September 2008

Selamat Berpuasa

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA

Selamat menunaikan ibadah puasa dan di bulan yang penuh rahmat ini marilah kita berlomba-lomba meningkatkan ibadah dan amal kita. Insya Allah ibadah kita berkenan. Kita tidak usah terlampau risau dengan mereka yang tidak berpuasa dan tidak menghormati bulan ibadah suci ini. Mereka akan mendapatkan timbal balik yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Bukan kita yang berhak mengadili manusia. Jika kita memaksa mereka untuk menghormati ibadah kita, dan mereka tidak mengindahkannya, kita akan menjadi emosi dan mungkin akan membatalkan ibadah puasa kita yang suci. Sayang kan…..

Salah Siapa?

SALAH SIAPA?

Seorang atheis bingung:
Jika Tuhan itu satu mengapa ada banyak agama?
Jika semua agama baik dan benar, mengapa pengikutnya sering bertikai bahkan saling membunuh?
Jika beribadah itu mendewasakan nurani, mengapa mereka memaksa orang lain untuk menghormati ibadah mereka?
Jika di surga itu damai, apa mungkin dapat dihuni oleh orang dari berbagai agama?
Jika agama itu membawa damai, mengapa ada banyak aliran yang tidak bisa didamaikan?

Jangan salahkan orang atheis itu, tapi salahkanlah diri kalian yang mengaku mempunyai agama!!!!

Agama Paling Enak

AGAMA PALING ENAK!!!!

Seseorang belum mempunyai agama. Keinginan untuk memeluk suatu agama tertentu sudah ada tetapi belum memutuskan untuk memeluk suatu agama tertentu. Akhirnya orang tersebut datang kepada suatu acara yang di dalamnya terdapat promosi dari berbagai agama yang telah ada. Orang tersebut datang dan mengikuti semua acara yang ditampilkan oleh semua agama untuk membuat pertimbangan. Pada awalnya orang tersebut bingung karena semua agama mengaku sebagai agama yang terbaik paling tepat. Setelah menelaah untuk beberapa lama, akhirnya orang tersebut memutuskan sebagai berikut:

Ketika muda memeluk agama Katholik. Bisa berpacaran secara lebih bebas, bisa maka daging yang dianggap haram oleh agama lain.
Ketika menikah memilih agama Islam. Jadi dia bisa berpoligami, bisa kawin cerai dan mempunyai beberapa istri sekaligus.
Setelah tua, ketika banyak anak-anaknya yang butuh biaya, dia masuk Budha dan menjadi bikshu yang lepas dari dunia luar, alias tidak perlu bertanggung terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

Nah enak kan!!!