AGAMA = DAMAI????
Seorang komunis berkata, Jika agama memang membawa kebaikan dan kedamaian,
Berapa orang yang mati karena agama?
Berapa orang yang korupsi menggunakan alasan agama?
Berapa kali terjadi perang karena agama?
Berapa kali terjadi ledakan bom karena agama?
Berapa kali terjadi perceraian karena agama?
Berapa kali terjadi pertengkaran anak dan orang tua karena agama?
Berapa kali terjadi pertikaian antar kelompok agama?
Berapa rupiah uang yang habis untuk perayaan agama sementara orang miskin tidak bisa makan?
Jumlah korban yang sama akan didapati karena alasan komunis
Lantas sebagai orang yang mengaku punya agama, akan berkata apa????
Sabtu, 30 Agustus 2008
Saling dan Saling
Suami yang marah kepada istrinya berkata,” Sebagai suami istri kita harus saling menghormati!” Padahal maksudnya adalah ‘kamu harus menghormati saya!’
Istrinya menjawab. “Ya kita memang harus saling mengerti”. Maksudnya adalah ‘saya telah mengerti kamu, tetapi kamulah yang belum mengerti saya’.
Seorang remaja berkata kepada kekasihnya, “Kita harus saling mengerti!” Padahal maksudnya adalah ‘kamu harus mengerti saya!’
Kekasihnya menjawab, “Betul pengertian harus saling terjadi di antara kita”. Penekannya adalah ‘saya telah mengeti kamu, kamulah yang belum mengerti saya’.
Seorang beragama X berkata kepada pemeluk agama Y, “Kita harus saling menghormati sesama pemeluk agama lain yang sedang menjalankan ibadah”. Padahal penekannya adalah ‘Kamu harus menghormati saya ketika sedang menjalankan ibadah’.
Pemeluk agama Y menjawab. “Setuju, kita harus saling toleransi”. Padahal intinya adalah kamu selalu minta saya toleransi, tetapi kamu dan pemelukmu tidak pernah memperhatikan kepentingan agama saya’.
Seorang karyawan berkata kepada rekannya, “Kita harus saling bekerja sama dan saling membantu”. Padahal dalam hatinya berkata, ‘kamu harus membantu saya’.
Rekannya menjawab, “Tepat sekali. Saya setuju”. Padahal maksudnya adalah, ‘sudah berapa kali saya membantu kamu, tetapi kamu tidak pernah membantu saya’.
Seorang buruh berkata kepada bosnya, “Kita harus saling bekerja sama menghadapi kondisi krisis ini”. Padahal maksudnya adalah tolong naikkan gaji saya.
Bosnya menyahut, “Ya kondisi kita memang harus paham dengan kondisi krisis yang melanda. Padahal bos ingin berkata. ‘Makanya kerja yang giat dan jangan minta naik gaji melulu’.
Kasihan kata ‘saling’ yang bermakna adanya timbal balik tetapi lebih sering dipergunakan sebagai pemaksaan kehendak
Istrinya menjawab. “Ya kita memang harus saling mengerti”. Maksudnya adalah ‘saya telah mengerti kamu, tetapi kamulah yang belum mengerti saya’.
Seorang remaja berkata kepada kekasihnya, “Kita harus saling mengerti!” Padahal maksudnya adalah ‘kamu harus mengerti saya!’
Kekasihnya menjawab, “Betul pengertian harus saling terjadi di antara kita”. Penekannya adalah ‘saya telah mengeti kamu, kamulah yang belum mengerti saya’.
Seorang beragama X berkata kepada pemeluk agama Y, “Kita harus saling menghormati sesama pemeluk agama lain yang sedang menjalankan ibadah”. Padahal penekannya adalah ‘Kamu harus menghormati saya ketika sedang menjalankan ibadah’.
Pemeluk agama Y menjawab. “Setuju, kita harus saling toleransi”. Padahal intinya adalah kamu selalu minta saya toleransi, tetapi kamu dan pemelukmu tidak pernah memperhatikan kepentingan agama saya’.
Seorang karyawan berkata kepada rekannya, “Kita harus saling bekerja sama dan saling membantu”. Padahal dalam hatinya berkata, ‘kamu harus membantu saya’.
Rekannya menjawab, “Tepat sekali. Saya setuju”. Padahal maksudnya adalah, ‘sudah berapa kali saya membantu kamu, tetapi kamu tidak pernah membantu saya’.
Seorang buruh berkata kepada bosnya, “Kita harus saling bekerja sama menghadapi kondisi krisis ini”. Padahal maksudnya adalah tolong naikkan gaji saya.
Bosnya menyahut, “Ya kondisi kita memang harus paham dengan kondisi krisis yang melanda. Padahal bos ingin berkata. ‘Makanya kerja yang giat dan jangan minta naik gaji melulu’.
Kasihan kata ‘saling’ yang bermakna adanya timbal balik tetapi lebih sering dipergunakan sebagai pemaksaan kehendak
Daging dan Komuni
Heboh!!! Itulah yang terjadi dalam suatu acara makan-makan pada suatu pesta. Suasana tidak nyaman muncul ketika ada kabar bahwa daging ayam yang disajikan di pesta itu disembelih tidak dengan cara yang benar dan tanpa mengucapkan ayat tertentu. Berarti daging ayam yang disiapkan disantap adalah haram. Daging ayam yang enak itu pada hakekatnya adalah tidak enak karena tidak diridhoi. Pemilik rumah pun kalang kabut dan tidak tahu harus berbuat apa.
Di suatu sudut kecil dalam ruangan pesta itu, seorang frater (calon imam yang masih sekolah) tampak bingung. Dirinya bingung, apa logikanya daging ayam yang tidak disembelih sambil mengucapkan bismillah menjadi tidak enak alias haram. Dicobanya mengecap-ngecap daging ayam itu. ‘Hmmm… tetap enak’ batinnya. Dia melirik kepada seniornya, seorang pastur yang agak senior dan telah banyak makan asam garam.
“Romo”, ujarnya memulai pembicaraan. “Saya tidak mengerti, kenapa orang-orang pada ribut dan tidak mau memakan daging ayam ini. Rasanya enak kok. Bukankah tidak ada bedanya antara ayam yang disembelih sambil mengucapkan bismillah dengan ayam yang disembelih tanpa mengucapkan kata-kata itu?”
Seniornya menoleh, memandang dengan mendalam, lalu menghembuskan nafas dalam-dalam terhadap pemahaman yuniornya yang masih sangat-sangat rendah.
“Begini. Aku akan menceritakan sesuatu cerita”, kata romo senior. ‘Waduh, malah dikhotbahi nich’ kata frater itu dalam hati dengan agak kecut. Romo senior meneruskan “Suatu saat, ketika dalam suatu perayaan ekaristi (upacara rutin mingguan umat Katholik) di gereja, hosti (roti tanpa ragi yang diberikan kepada umat sebagai tanda santapan rohani) yang harus diberikan kepada umat habis. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan mengambil hosti dari sankristi (ruangan untuk persiapan perayaan ekaristi) untuk diberikan kepada umat? Pasti tidak bukan??? Lalu apa bedanya hosti yang ada di altar gereja dengan hosti yang ada di sankristi. Rasa, bentuk dan ukurannya pun sama? Kamu paham?”
Frater itu pun manggut-manggut dan menyesali pemikiran logikanya yang ternyata masih sangat rendah. ‘Wah kayaknya aku musti belajar lebih banyak lagi’ kata frater muda itu dalam hati. Dalam perayaan ekaristi di gereja, akan dibagikan roti tidak beragi yang sering disebut hosti kepada umat yang dianggap telah dewasa secara keimanan sebagai pertanda kehadiran Yesus Kristus sendiri dalam kehidupan mereka. Hosti yang telah diberi doa tertentu dianggap sebagai penjelmaan Kristus sendiri, yang tentu saja berbeda dengan hosti yang masih ada di sankristi. Bagi orang yang tidak mengimani tentu akan berkata ‘Lalu apa bedanya?’
Di suatu sudut kecil dalam ruangan pesta itu, seorang frater (calon imam yang masih sekolah) tampak bingung. Dirinya bingung, apa logikanya daging ayam yang tidak disembelih sambil mengucapkan bismillah menjadi tidak enak alias haram. Dicobanya mengecap-ngecap daging ayam itu. ‘Hmmm… tetap enak’ batinnya. Dia melirik kepada seniornya, seorang pastur yang agak senior dan telah banyak makan asam garam.
“Romo”, ujarnya memulai pembicaraan. “Saya tidak mengerti, kenapa orang-orang pada ribut dan tidak mau memakan daging ayam ini. Rasanya enak kok. Bukankah tidak ada bedanya antara ayam yang disembelih sambil mengucapkan bismillah dengan ayam yang disembelih tanpa mengucapkan kata-kata itu?”
Seniornya menoleh, memandang dengan mendalam, lalu menghembuskan nafas dalam-dalam terhadap pemahaman yuniornya yang masih sangat-sangat rendah.
“Begini. Aku akan menceritakan sesuatu cerita”, kata romo senior. ‘Waduh, malah dikhotbahi nich’ kata frater itu dalam hati dengan agak kecut. Romo senior meneruskan “Suatu saat, ketika dalam suatu perayaan ekaristi (upacara rutin mingguan umat Katholik) di gereja, hosti (roti tanpa ragi yang diberikan kepada umat sebagai tanda santapan rohani) yang harus diberikan kepada umat habis. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan mengambil hosti dari sankristi (ruangan untuk persiapan perayaan ekaristi) untuk diberikan kepada umat? Pasti tidak bukan??? Lalu apa bedanya hosti yang ada di altar gereja dengan hosti yang ada di sankristi. Rasa, bentuk dan ukurannya pun sama? Kamu paham?”
Frater itu pun manggut-manggut dan menyesali pemikiran logikanya yang ternyata masih sangat rendah. ‘Wah kayaknya aku musti belajar lebih banyak lagi’ kata frater muda itu dalam hati. Dalam perayaan ekaristi di gereja, akan dibagikan roti tidak beragi yang sering disebut hosti kepada umat yang dianggap telah dewasa secara keimanan sebagai pertanda kehadiran Yesus Kristus sendiri dalam kehidupan mereka. Hosti yang telah diberi doa tertentu dianggap sebagai penjelmaan Kristus sendiri, yang tentu saja berbeda dengan hosti yang masih ada di sankristi. Bagi orang yang tidak mengimani tentu akan berkata ‘Lalu apa bedanya?’
Kamis, 28 Agustus 2008
Sketsa tiga
Ini merupakan sketsa ketiga dari tiga sketsa yang tidak terpisahkan. Membaca satu sketsa saja akan menimbulkan salah persepsi yang sangat fatal.
Sketsa 3
Pak Made merupakan segelintir dari laki-laki yang berbahagia sepenuhnya. Sebagai seorang karyawan, dia sangat sukses dipercaya oleh perusahaannya, dan juga mempunyai seorang istri yang sangat rajin. Meskipun gajinya sudah lebih dari cukup, istrinya selalu membuka usaha kecil-kecilan sehingga finansial keluarganya semakin mapan. Setelah ditempatkan di daerah baru oleh perusahaannya, istrinya membuka usaha warung makan dan akhir-akhir ini mulai menggeliat omzetnya. Dibantu oleh dua orang pembantu, maka warung makannya tidak terlalu menyibukkan. Suatu saat, istrinya yang sedang menghitung uang, memandangi suaminya yang berjalan mondar-mandir di ruang tengah.“Kenapa Pak?’ tanya istrinya. “Pusing kerjaan kantor?” Suaminya berhenti berjalan. Memandang tajam istrinya karena pandangan mata Pak Made memang selalu tajam. Mungkin terbiasa seperti itu terhadap ratusan anak buahnya yang rata-rata berpendidikan rendah dan mengandalkan tenaganya untuk bekerja sebagai buruh.
“Ini daerah gila ya!” kata-kata Pak Made selalu tegas dan berwibawa sekaligus to the point. Istrinya berhenti sejenak menghitung uang hasil penjualan warungnya. Tapi kemudian meneruskannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Gila gimana?” tanya istrinya sambil lalu. “Berarti ini juga uang gila?” tambah istrinya yang memang tidak tahu maksud pembicaraan suaminya. Suaminya kecewa kata-katanya tidak ditanggapi dengan baik.
“Baik, aku ralat. Pak Alex itu orang gila!” Kata-kata Pak Made yang terakhir akhirnya membuat istrinya berhenti menghitung uang dan memandang suaminya dengan penuh seksama.
“Masak orang gila punya anak istri? Jadi guru lagi. Lha apa muridnya semuanya juga gila?” Bu Made masih belum nyambung dengan maksud suaminya.
“Bu!” Pak Made habis kesabarannya. “Ibu tahu gak kalo Pak Alex dan Bu Alex itu menjual sate sapi. Sate sapi, dan aku ulangi sekali lagi SATE SAPI!!” suara Pak Made sangat meninggi. Kebiasaan di proyek kalau memarahi anak buahnya yang malas.
“O.. kalau itu aku juga tahu”, istrinya menjawab kalimat suaminya dengan tidak berimbang karena masih terdengar santai saja. “Di sini kan banyak yang jualan kayak gitu Pak. Ini kan… “
“Justru itu yang aku bilang ini daerah gila” potong suaminya. “Ibu kan tahu, di India saja, kalau ada sapi di tengah jalan, tidak ada orang yang boleh mengusirnya. Itu sudah undang-undang. Petugas resmi pun hanya boleh memancing-mancing agar minggir, tanpa boleh memaksanya. Lha di sini…”
“Lha itu kan di India”, gantian istrinya memotong. “Lain India lain sini Pak! Kita berdua kan pernah ke sana Pak. Di sana kan beda dengan sini”.
“Ibu jangan ikut-ikutan gila. Sejak kecil kita sudah ditanamkan pemahaman oleh orang tua kita untuk menghormati binatang suci. Ini Dharma. Harga mati. Tidak bisa diganggu gugat”. Keduanya diam sejenak. Istri Pak Made berkata
“Lha terus gimana Pak? Itu kan keyakinan kita. Keyakinan orang kan berbeda. Apa Bapak khawatir warung mereka menyaingi warung kita. Gak mungkin lah Pak. Kalau iya, ya biar saja, namanya juga usaha”.
“Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Ini bukan masalah saingan warung makan. Ini masalah keyakinan. Besok aku akan menyempatkan diri bicara ke Pak Alex di sekolahnya. Akan kuajak salah satu siswanya yang sepaham dengan kita agar Pak Alex mau menghormati kita. Dia kan guru, jadi harus bisa menjadi contoh yang baik, terutama bagi muridnya”. Istrinya diam saja. Meskipun dalam hatinya sangat tidak setuju dengan rencana suaminya, tapi dia tahu benar bahwa suaminya tidak akan bisa dicegah. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah
“Baik. Saya ikut ya Pak?” dengan begitu, dia berharap dapat mengurangi konflik yang terjadi antara suaminya dengan Pak Alex.
“Hmmm. Boleh”, sahut suaminya yang tidak begitu tahu maksud istrinya.
Sketsa dua
Ini merupakan sketsa kedua dari tiga sketsa yang tidak terpisahkan. Membaca satu sketsa saja akan menimbulkan salah persepsi yang sangat fatal.
Sketsa 2
Pada masa awal melakukan poligami, Pak Ahmad memang agak tertekan. Konsep adil, tidaklah gampang seperti apa kedengarannya. Adil tidak berarti sama, tetapi lebih kepada apa yang menjadi seharusnya. Pernikahan kedua Pak Ahmad, yang juga seorang haji, sebenarnya atas dorongan dari istri pertamanya sendiri. Saudara jauh dari istrinya meninggal akibat kecelakaan dan meninggalkan istri dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Secara ekonomi, Pak Ahmad memang tercukupi dari hasil usaha leveransir material bangunan. Dua buah truk yang menjadi alat operasionalnya merupakan bukti kepiawaian Pak Ahmad dalam menjalankan bisnisnya. Setelah mempersiapkan diri selama beberapa bulan, tanpa lupa berkonsultasi dengan beberapa uztad, akhirnya Pak Ahmad menyetujui usul istrinya untuk berpoligami.
“Bu…” panggil Pak Ahmad sambil membelai-belai rambut istri pertamanya. Bu Ahmad menoleh dan memandang suaminya dalam-dalam. Setelah bertahan-tahun hidup pertama, dia tahu pasti akan ada hal yang penting jika suaminya membelai-belai rambutnya yang panjang dan sangat dikagumi suaminya tersebut. Suaminya melanjutkan perkataannya “Kita harus memusnahkan segala kemaksiatan di muka bumi ini. Amar makruh nahi mungkar harus kita tegakkan!”
Istri pertamanya agak kaget. Nada suara suaminya agak bergetar. Dia menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan istri kedua suaminya, takut kalau-kalau suaminya akan mengutarakan adanya masalah dengan istri keduanya.
“Ini bukan masalah keluarga kita”, Pak Ahmad seolah bisa membaca pikiran istri pertamanya. “Pak Made!!” sergah Pak Ahmad. Istri pertama Pak Ahmad jadi ikut terhenyak. Pak Made adalah pendatang baru dari Bali yang tinggal di dekat daerah situ dan bekerja pada sebuah perusahaan kontraktor nasional. Beberapa kali Pak Ahmad bekerja sama dengan Pak Made dengan mensuplai material di beberapa proyek besar.
“Kenapa Pak?”, tanya istri pertamanya. “Ada masalah bisnis dengan Pak Made?”
“Ibu tahu?”, Pak Ahmad tidak menjawab pertanyaan istri pertamanya, tetapi malah balik bertanya, “Pak Made sekarang membuka warung di rumahnya”.
“Tahu Pak. Memang kenapa? Istrinya kan wanita Bali yang terkenal rajin. Mereka kan baru-baru saja pindah ke sini, jadi mungkin baru sekarang mereka mempunyai ide untuk menambah penghasilan dengan membuka warung”.
“Buka warung itu bukan masalah. Buka sepuluh juga bukan masalah. Itu haknya mereka. Tapi Ibu tahu gak apa yang mereka jual. Ha…. Tahu gak!!” suara Pak Ahmad semakin meninggi. Istri pertamanya diam saja mendengarkan dengan agak bergidik. Suaminya terkenal sebagai orang yang bijak dan selalu berkepala dingin. “Daging anjing dan babi! Haram….!!!”
Istri pertamanya masih diam sambil melihat suaminya mengepalkan tangan tanda geram. “Ya… biar saja Pak. Itu kan haram menurut kita, tetapi halal menurut mereka…”
“Salah besar!!” Pak Ahmad berdiri secara tiba-tiba sehingga membuat istri pertamanya kaget. “Haram adalah haram! Banyak daging yang diijinkan Allah untuk dimakan manusia, hanya ada beberapa saja yang diharamkan. Kenapa harus melanggarnya. Itu lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Ini penghinaan!!!”
“Asalkan kita tidak ikut-ikutan makan kan tidak ada masalah Pak”, istri pertamanya memberanikan diri untuk berbicara meskipun terdengar agak lirih. “Ada juga kok Pak, yang bagi kita halal, tapi bagi orang lain malah haram”.
“Tidak. Tidak seperti itu. Warung itu akan menimbulkan masalah di kampung kita. Anak-anak muda akan mencoba makan lalu menjadi terbiasa. Ini harus dicegah. Tidak boleh dibiarkan. Aku akan bicara dengan Pak RT dan Pak RW. Mereka semuanya muslim dan tahu bahwa daging anjing dan babi itu haram untuk dimakan. Bagaimanapun juga Pak Made harus menghentikan usaha itu atau pindah dari kampung kita!!”
“Aduh Pak!”, istri pertamanya agak cemas. “Jangan Pak. Biarkan saja. Anak-anak muda di daerah sini kan sudah tahu bahwa itu haram. Mereka yang sadar pasti tidak akan ikut-ikutan. Pak Made bukan Islam, jadi yang biar saja mereka buka warung itu. Mereka sudah punya keyakinan sendiri”.
“Tidak. Pokoknya tidak! Aku harus menemui Pak RT dan Pak RW sekarang!” sahut Pak Ahmad sambil bergegas diikuti pandangan dari istri pertamanya.
Sketsa Satu
Ini merupakan sketsa pertama dari tiga sketsa yang tidak terpisahkan. Membaca satu sketsa saja akan menimbulkan salah persepsi yang sangat fatal.
Sketsa 1
Pak Alex, seorang guru sekolah swasta Katholik yang cukup terkenal, pulang ke rumah dengan membanting pagar rumah depan. Istrinya, yang kebetulan seorang ibu rumah tangga melihat gelagat tidak baik dari suami tercintanya. Beberapa waktu yang lalu, suaminya memang betul-betul pusing kepala dengan kondisinya. Berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan membuat sekolahnya tidak mendapatkan murid yang banyak sehingga pendapatan yang diperoleh juga menurun drastis. Sebagai seorang istri yang telah mengikrarkan janji setia seumur hidup di gereja, ikut memutar otak untuk mengatasi hal tersebut. Akhirnya keluarlah ide untuk berjualan sate sapi di sebuah tempat yang lumayan strategi milik adiknya. Setelah usaha tersebut berjalan beberapa saat, akhirnya perekonomian keluarga kembali normal bahkan agak lebih baik dari kondisinya.
“Ada apa Pak”, tanya Bu Alex dengan penuh kelembutan seperti biasanya.
“Edan!! Bisa Rusak semuanya!” hentak Pak Alex dengan penuh emosi. Bu Alex menghela nafas mendalam, lalu menyahut, “Kenapa to Pak? Harga daging sapi naik? Ya gampang, harga sate sapi tinggal dinaikkan, atau kalau takut pelanggan lari, porsinya saja yang dikurangi”.
“Ini bukan masalah sapi!” Pak Alex agak naik pitam. Bu Alex diam saja dengan harap-harap cemas. ‘Salah apa aku’ kata Bu Alex dalam hati. “Pak Ahmad itu lho!” tandas Pak Alex.
“Iya kenapa Pak Ahmad?” tanya Bu Alex. Pak Ahmad adalah seorang tetangga yang juga merupakan tokoh di daerah itu yang cukup disegani. Selain karena agamanya yang taat, Pak Ahmad juga merupakan seorang yang murah hati. “Bukankah dia baik-baik saja dan bahkan baru berbahagia atas pernikahannya yang kedua?”
“Justru itu!” hardik Pak Alex. “Itu bisa merusak tatanan! Punya istri dua, tinggal satu rumah lagi. Ibu kan tahu, pernikahan itu satu untuk seumur hidup”.
“Iya Pak. Tapi Pak Ahmad kan muslim, dan dalam agama muslim kan boleh-boleh saja punya istri dua. Itu kan sesuai sunnah nabi, asal bisa adil dan atas seijin istri pertama”.
“Alaaa…. Itu kan cuma alasan. Dasarnya saja dia mata keranjang, tidak bisa lihat wanita cantik sendirian. Lagian Ibu tahu apa tentang sunnah?”
“Jangan begitu Pak. Tiap keyakinan pasti punya dasar sendiri-sendiri. Biarkan saja. Kita jalankan saja apa yang menjadi keyakinan kita sendiri”. Bu Alex jadi berpikir dalam hati. Jangan-jangan suaminya marah-marah karena terikat janji di depan altar ketika mereka menikah, bahwa akan setia pada satu pasangan seumur hidup.
“Bu, ini bukan masalah keyakinan. Tapi hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi anak-anak muda di sekitar sini. Mereka menjadi biasa gonta-ganti pasangan karena merasa ada contoh. Itu bahaya. Nanti kawin cerai menjadi hal yang biasa. Ini tidak bisa dibiarkan. Saya akan mengajak orang-orang di kampung kita untuk datang ke rumah Pak Ahmad dan mengusirnya dari kampung kita. Ini harus dilakukan demi masa depan generasi penerus kita!”
“Aduh Pak!”, Bu Alex kaget dengan pemikiran suaminya. “jangan begitu Pak. Nanti bisa runyam masalahnya. Sudahlah….”
“Kalau dibiarkan bisa semakin bertambah runyam!” potong Pak Alex, sambil duduk menerawang. Memikirkan kata-kata yang akan disampaikan kepada orang-orang yang diharapkan mendukung rencananya. ‘Ini harus berjalan dengan baik dan tanpa konflik’ kata Pak Alex dalam hati.
Langganan:
Postingan (Atom)