Ini merupakan sketsa pertama dari tiga sketsa yang tidak terpisahkan. Membaca satu sketsa saja akan menimbulkan salah persepsi yang sangat fatal.
Sketsa 1
Pak Alex, seorang guru sekolah swasta Katholik yang cukup terkenal, pulang ke rumah dengan membanting pagar rumah depan. Istrinya, yang kebetulan seorang ibu rumah tangga melihat gelagat tidak baik dari suami tercintanya. Beberapa waktu yang lalu, suaminya memang betul-betul pusing kepala dengan kondisinya. Berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan membuat sekolahnya tidak mendapatkan murid yang banyak sehingga pendapatan yang diperoleh juga menurun drastis. Sebagai seorang istri yang telah mengikrarkan janji setia seumur hidup di gereja, ikut memutar otak untuk mengatasi hal tersebut. Akhirnya keluarlah ide untuk berjualan sate sapi di sebuah tempat yang lumayan strategi milik adiknya. Setelah usaha tersebut berjalan beberapa saat, akhirnya perekonomian keluarga kembali normal bahkan agak lebih baik dari kondisinya.
“Ada apa Pak”, tanya Bu Alex dengan penuh kelembutan seperti biasanya.
“Edan!! Bisa Rusak semuanya!” hentak Pak Alex dengan penuh emosi. Bu Alex menghela nafas mendalam, lalu menyahut, “Kenapa to Pak? Harga daging sapi naik? Ya gampang, harga sate sapi tinggal dinaikkan, atau kalau takut pelanggan lari, porsinya saja yang dikurangi”.
“Ini bukan masalah sapi!” Pak Alex agak naik pitam. Bu Alex diam saja dengan harap-harap cemas. ‘Salah apa aku’ kata Bu Alex dalam hati. “Pak Ahmad itu lho!” tandas Pak Alex.
“Iya kenapa Pak Ahmad?” tanya Bu Alex. Pak Ahmad adalah seorang tetangga yang juga merupakan tokoh di daerah itu yang cukup disegani. Selain karena agamanya yang taat, Pak Ahmad juga merupakan seorang yang murah hati. “Bukankah dia baik-baik saja dan bahkan baru berbahagia atas pernikahannya yang kedua?”
“Justru itu!” hardik Pak Alex. “Itu bisa merusak tatanan! Punya istri dua, tinggal satu rumah lagi. Ibu kan tahu, pernikahan itu satu untuk seumur hidup”.
“Iya Pak. Tapi Pak Ahmad kan muslim, dan dalam agama muslim kan boleh-boleh saja punya istri dua. Itu kan sesuai sunnah nabi, asal bisa adil dan atas seijin istri pertama”.
“Alaaa…. Itu kan cuma alasan. Dasarnya saja dia mata keranjang, tidak bisa lihat wanita cantik sendirian. Lagian Ibu tahu apa tentang sunnah?”
“Jangan begitu Pak. Tiap keyakinan pasti punya dasar sendiri-sendiri. Biarkan saja. Kita jalankan saja apa yang menjadi keyakinan kita sendiri”. Bu Alex jadi berpikir dalam hati. Jangan-jangan suaminya marah-marah karena terikat janji di depan altar ketika mereka menikah, bahwa akan setia pada satu pasangan seumur hidup.
“Bu, ini bukan masalah keyakinan. Tapi hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi anak-anak muda di sekitar sini. Mereka menjadi biasa gonta-ganti pasangan karena merasa ada contoh. Itu bahaya. Nanti kawin cerai menjadi hal yang biasa. Ini tidak bisa dibiarkan. Saya akan mengajak orang-orang di kampung kita untuk datang ke rumah Pak Ahmad dan mengusirnya dari kampung kita. Ini harus dilakukan demi masa depan generasi penerus kita!”
“Aduh Pak!”, Bu Alex kaget dengan pemikiran suaminya. “jangan begitu Pak. Nanti bisa runyam masalahnya. Sudahlah….”
“Kalau dibiarkan bisa semakin bertambah runyam!” potong Pak Alex, sambil duduk menerawang. Memikirkan kata-kata yang akan disampaikan kepada orang-orang yang diharapkan mendukung rencananya. ‘Ini harus berjalan dengan baik dan tanpa konflik’ kata Pak Alex dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan sampaikan komentar Anda Secara Indah