Kamis, 28 Agustus 2008

Sketsa dua

Ini merupakan sketsa kedua dari tiga sketsa yang tidak terpisahkan. Membaca satu sketsa saja akan menimbulkan salah persepsi yang sangat fatal.

Sketsa 2

Pada masa awal melakukan poligami, Pak Ahmad memang agak tertekan. Konsep adil, tidaklah gampang seperti apa kedengarannya. Adil tidak berarti sama, tetapi lebih kepada apa yang menjadi seharusnya. Pernikahan kedua Pak Ahmad, yang juga seorang haji, sebenarnya atas dorongan dari istri pertamanya sendiri. Saudara jauh dari istrinya meninggal akibat kecelakaan dan meninggalkan istri dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Secara ekonomi, Pak Ahmad memang tercukupi dari hasil usaha leveransir material bangunan. Dua buah truk yang menjadi alat operasionalnya merupakan bukti kepiawaian Pak Ahmad dalam menjalankan bisnisnya. Setelah mempersiapkan diri selama beberapa bulan, tanpa lupa berkonsultasi dengan beberapa uztad, akhirnya Pak Ahmad menyetujui usul istrinya untuk berpoligami.
“Bu…” panggil Pak Ahmad sambil membelai-belai rambut istri pertamanya. Bu Ahmad menoleh dan memandang suaminya dalam-dalam. Setelah bertahan-tahun hidup pertama, dia tahu pasti akan ada hal yang penting jika suaminya membelai-belai rambutnya yang panjang dan sangat dikagumi suaminya tersebut. Suaminya melanjutkan perkataannya “Kita harus memusnahkan segala kemaksiatan di muka bumi ini. Amar makruh nahi mungkar harus kita tegakkan!”
Istri pertamanya agak kaget. Nada suara suaminya agak bergetar. Dia menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan istri kedua suaminya, takut kalau-kalau suaminya akan mengutarakan adanya masalah dengan istri keduanya.
“Ini bukan masalah keluarga kita”, Pak Ahmad seolah bisa membaca pikiran istri pertamanya. “Pak Made!!” sergah Pak Ahmad. Istri pertama Pak Ahmad jadi ikut terhenyak. Pak Made adalah pendatang baru dari Bali yang tinggal di dekat daerah situ dan bekerja pada sebuah perusahaan kontraktor nasional. Beberapa kali Pak Ahmad bekerja sama dengan Pak Made dengan mensuplai material di beberapa proyek besar.
“Kenapa Pak?”, tanya istri pertamanya. “Ada masalah bisnis dengan Pak Made?”
“Ibu tahu?”, Pak Ahmad tidak menjawab pertanyaan istri pertamanya, tetapi malah balik bertanya, “Pak Made sekarang membuka warung di rumahnya”.
“Tahu Pak. Memang kenapa? Istrinya kan wanita Bali yang terkenal rajin. Mereka kan baru-baru saja pindah ke sini, jadi mungkin baru sekarang mereka mempunyai ide untuk menambah penghasilan dengan membuka warung”.
“Buka warung itu bukan masalah. Buka sepuluh juga bukan masalah. Itu haknya mereka. Tapi Ibu tahu gak apa yang mereka jual. Ha…. Tahu gak!!” suara Pak Ahmad semakin meninggi. Istri pertamanya diam saja mendengarkan dengan agak bergidik. Suaminya terkenal sebagai orang yang bijak dan selalu berkepala dingin. “Daging anjing dan babi! Haram….!!!”
Istri pertamanya masih diam sambil melihat suaminya mengepalkan tangan tanda geram. “Ya… biar saja Pak. Itu kan haram menurut kita, tetapi halal menurut mereka…”
“Salah besar!!” Pak Ahmad berdiri secara tiba-tiba sehingga membuat istri pertamanya kaget. “Haram adalah haram! Banyak daging yang diijinkan Allah untuk dimakan manusia, hanya ada beberapa saja yang diharamkan. Kenapa harus melanggarnya. Itu lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Ini penghinaan!!!”
“Asalkan kita tidak ikut-ikutan makan kan tidak ada masalah Pak”, istri pertamanya memberanikan diri untuk berbicara meskipun terdengar agak lirih. “Ada juga kok Pak, yang bagi kita halal, tapi bagi orang lain malah haram”.
“Tidak. Tidak seperti itu. Warung itu akan menimbulkan masalah di kampung kita. Anak-anak muda akan mencoba makan lalu menjadi terbiasa. Ini harus dicegah. Tidak boleh dibiarkan. Aku akan bicara dengan Pak RT dan Pak RW. Mereka semuanya muslim dan tahu bahwa daging anjing dan babi itu haram untuk dimakan. Bagaimanapun juga Pak Made harus menghentikan usaha itu atau pindah dari kampung kita!!”
“Aduh Pak!”, istri pertamanya agak cemas. “Jangan Pak. Biarkan saja. Anak-anak muda di daerah sini kan sudah tahu bahwa itu haram. Mereka yang sadar pasti tidak akan ikut-ikutan. Pak Made bukan Islam, jadi yang biar saja mereka buka warung itu. Mereka sudah punya keyakinan sendiri”.
“Tidak. Pokoknya tidak! Aku harus menemui Pak RT dan Pak RW sekarang!” sahut Pak Ahmad sambil bergegas diikuti pandangan dari istri pertamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sampaikan komentar Anda Secara Indah