Kamis, 28 Agustus 2008

Sketsa tiga

Ini merupakan sketsa ketiga dari tiga sketsa yang tidak terpisahkan. Membaca satu sketsa saja akan menimbulkan salah persepsi yang sangat fatal.

Sketsa 3

Pak Made merupakan segelintir dari laki-laki yang berbahagia sepenuhnya. Sebagai seorang karyawan, dia sangat sukses dipercaya oleh perusahaannya, dan juga mempunyai seorang istri yang sangat rajin. Meskipun gajinya sudah lebih dari cukup, istrinya selalu membuka usaha kecil-kecilan sehingga finansial keluarganya semakin mapan. Setelah ditempatkan di daerah baru oleh perusahaannya, istrinya membuka usaha warung makan dan akhir-akhir ini mulai menggeliat omzetnya. Dibantu oleh dua orang pembantu, maka warung makannya tidak terlalu menyibukkan. Suatu saat, istrinya yang sedang menghitung uang, memandangi suaminya yang berjalan mondar-mandir di ruang tengah.
“Kenapa Pak?’ tanya istrinya. “Pusing kerjaan kantor?” Suaminya berhenti berjalan. Memandang tajam istrinya karena pandangan mata Pak Made memang selalu tajam. Mungkin terbiasa seperti itu terhadap ratusan anak buahnya yang rata-rata berpendidikan rendah dan mengandalkan tenaganya untuk bekerja sebagai buruh.
“Ini daerah gila ya!” kata-kata Pak Made selalu tegas dan berwibawa sekaligus to the point. Istrinya berhenti sejenak menghitung uang hasil penjualan warungnya. Tapi kemudian meneruskannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Gila gimana?” tanya istrinya sambil lalu. “Berarti ini juga uang gila?” tambah istrinya yang memang tidak tahu maksud pembicaraan suaminya. Suaminya kecewa kata-katanya tidak ditanggapi dengan baik.
“Baik, aku ralat. Pak Alex itu orang gila!” Kata-kata Pak Made yang terakhir akhirnya membuat istrinya berhenti menghitung uang dan memandang suaminya dengan penuh seksama.
“Masak orang gila punya anak istri? Jadi guru lagi. Lha apa muridnya semuanya juga gila?” Bu Made masih belum nyambung dengan maksud suaminya.
“Bu!” Pak Made habis kesabarannya. “Ibu tahu gak kalo Pak Alex dan Bu Alex itu menjual sate sapi. Sate sapi, dan aku ulangi sekali lagi SATE SAPI!!” suara Pak Made sangat meninggi. Kebiasaan di proyek kalau memarahi anak buahnya yang malas.
“O.. kalau itu aku juga tahu”, istrinya menjawab kalimat suaminya dengan tidak berimbang karena masih terdengar santai saja. “Di sini kan banyak yang jualan kayak gitu Pak. Ini kan… “
“Justru itu yang aku bilang ini daerah gila” potong suaminya. “Ibu kan tahu, di India saja, kalau ada sapi di tengah jalan, tidak ada orang yang boleh mengusirnya. Itu sudah undang-undang. Petugas resmi pun hanya boleh memancing-mancing agar minggir, tanpa boleh memaksanya. Lha di sini…”
“Lha itu kan di India”, gantian istrinya memotong. “Lain India lain sini Pak! Kita berdua kan pernah ke sana Pak. Di sana kan beda dengan sini”.
“Ibu jangan ikut-ikutan gila. Sejak kecil kita sudah ditanamkan pemahaman oleh orang tua kita untuk menghormati binatang suci. Ini Dharma. Harga mati. Tidak bisa diganggu gugat”. Keduanya diam sejenak. Istri Pak Made berkata
“Lha terus gimana Pak? Itu kan keyakinan kita. Keyakinan orang kan berbeda. Apa Bapak khawatir warung mereka menyaingi warung kita. Gak mungkin lah Pak. Kalau iya, ya biar saja, namanya juga usaha”.
“Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Ini bukan masalah saingan warung makan. Ini masalah keyakinan. Besok aku akan menyempatkan diri bicara ke Pak Alex di sekolahnya. Akan kuajak salah satu siswanya yang sepaham dengan kita agar Pak Alex mau menghormati kita. Dia kan guru, jadi harus bisa menjadi contoh yang baik, terutama bagi muridnya”. Istrinya diam saja. Meskipun dalam hatinya sangat tidak setuju dengan rencana suaminya, tapi dia tahu benar bahwa suaminya tidak akan bisa dicegah. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah
“Baik. Saya ikut ya Pak?” dengan begitu, dia berharap dapat mengurangi konflik yang terjadi antara suaminya dengan Pak Alex.
“Hmmm. Boleh”, sahut suaminya yang tidak begitu tahu maksud istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sampaikan komentar Anda Secara Indah