Jumat, 26 September 2008

Berkembangan Bersama Otokritik

BERKEMBANG BERSAMA OTO-KRITIK


Kiai ‘Mbeling’ Emha pada suatu kesempatan pernah menceritakan sebuah lelucon yang cukup menggelitik.

“Celaka, celaka…!” demikian teriak seorang muslim dengan sangat panik kepada temannya.
“Kenapa? Ada apa?” temannya jadi ikut-ikutan panik meskipun tidak tahu juntrungnya.
“Kamu tahu, kalau kita menyebut Tuhan kita dengan Allah Akbar?”, tanya orang yang panik tadi. Temannya menggangguk kecil dengan tatapan mata yang masih penuh tanda tanya. Temannya meneruskan, “Bukankah kita tiap hari memanggil-manggil nama-Nya dengan keras-keras dan berteriak-teriak? Itu kan berarti Tuhan kita sangat jauh dengan kita, sampai-sampai kita harus memanggilnya dengan Maha Besar dan berteriak-teriak bahkan dengan menggunakan pengeras suara”.
Temannya masih mangu-mangu, belum tahu ke mana arah pembicaraan, “Lha memang kenapa?”
“Tahu gak bahwa saudara-saudara kita, ada yang memanggil Tuhan dengan sebutan yang sangat dekat, yaitu Om!!!”
Temannya mulai mengerti ke mana arah kebingunganya.
“Dan lebih celaka lagi! Saudara-saudara kita yang lain memanggil Tuhan dengan sebutan yang lebih dekat lagi. BAPA!!!!!”

Cerita di atas cukup jelas untuk disimak oleh masing-masing pribadi. Orang Hindu menyebut Tuhannya dengan Om, dan orang Katholik dan Kristen memanggil Tuhan dengan sebuah Bapa. Cerita lain diberikan oleh Romo Azis Mardopo, seorang Romo pendamping mahasiswa di Yogyakarta pada era tahun 1990an. Cerita ini tidak ada hubungannya dengan cerita di atas, dan juga diceritakan pada tempat dan waktu yang berbeda pula. Romo Azis Mardopo berkata kepada mahasiswa Katholik:

“Saya agak prihatin dengan semangat dan euforia kalian dalam beribadah. Coba lihat, ketika ada misa di Gereja, ketika Romo mengatakan ‘Tuhan Beserta Kita’ maka umatnya akan menjawab dengan agak-agak malas-malasan ‘Dan sertamu juga’ jawabannya bahkan terkesan menggumam, tidak jelas. Mengapa kita tidak mencontoh saudara-saudara kita. Perhatikan saja, ketika Imam meneriakkan ‘Allah Akbar’, maka umatnya akan dengan lantang, semangat dan penuh percaya diri menjawab ‘Allah Akbar’. Mereka sangat bersemangat sekali. Jauh dibandingkan kalian pemuda-pemuda Katholik yang kelihatannya loyo!’

Dua cerita di atas tidak perlu diuraikan lagi. Sudah cukup jelas. Jauh lebih baik menyampaikan kritik terhadap diri untuk berkembang, dari pada mengkritik orang lain, dan memaksa orang lain menyesuaikan diri dengan kita. Sangat tidak elegan memaksa orang lain untuk menghormati diri kita. Jika kita menghormati orang lain sebagaimana layaknya, maka orang lain pun akan dengan sendirinya menghormati kita. Dan jika orang yang kita hormati tidak menghormati kita dengan layak, biarkan saja dan tidak usah dipaksa untuk menghormati kita. Orang itu pasti tidak akan mempunyai teman, dan seandainya dia tetap punya banyak teman, nah, sebaiknya kita yang melakukan koreksi diri. Jangan-jangan kita belum menghormati orang itu sebagaimana layaknya. Dan yang juga lebih penting lagi, kita tidak hanya hidup di dunia ini. Tul gak???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sampaikan komentar Anda Secara Indah