Rabu, 24 September 2008

Garuda-ku

GARUDA-KU


Kadang saya menyesal mempunyai lambang burung garuda yang selalu menoleh ke kiri. Tolehannya mungkin bermaksud berwibawa, akan tetapi bagi saya seperti seorang yang melengos, emoh melihat atau mendengarkan orang di depannya. Sama persis dengan pejabat dan politisi di negara kita yang selalu melengos ketika dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya. Bedanya kalau burung garuda selalu menoleh ke kiri, kalau pejabat dan politisi kadang ke kiri kadang ke kanan, tergantung angin. Sambil melengos politisi tersebut akan berkata, ‘itu bukan wewenang saya’, atau mungkin ‘saya sedang menunggu laporan’. Aneh, padahal itu jelas-jelas wewenangnya dan semua orang sudah tahu, tapi dia masih menungggu laporan dari bawahannya, yang ketika ditanya juga akan menjawab dengan jawaban yang sama, atau mungkin sedang tidak berada di tempat.

Suatu saat, pada tahun 2002, rombongan Presiden Megawati berkunjung ke Italia, sehabis melawat ke Perancis untuk perundingan Paris-Club, yang pada intinya mau mengatakan bahwa Indonesia tidak mampu membayar hutang yang menumpuk, alias, tolong donk beri waktu lagi. Anehnya rombongan itu datang bersama anak dan keluarganya, tinggal di hotel yang sangat mewah, menyewa mobil mewah dan menyempatkan belanja di tempat-tempat yang mewah pula. Lha itu uang dari mana, mending buat nyicil utang dikit-dikit. Ketika di Roma, Presiden ditanya oleh salah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang tugas studi di sana. Kebetulan mahasiswa tersebut mendapat bea siswa bukan dari pemerintah Indonesia, jadi berani berbicara agak sedikit lancang:

“…..nikmatnya hidup bersama, harmoni dan kedamaian tampaknya memudar karena berbagai kerusakan yang membahayakan integrasi bangsa kita. Dengan hati gelisah, kami mengikuti munculnya persoalan-persoalan baru di negeri kita, seperti berkurangnya penghormatan akan nilai-nilai moral bangsa, penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik, banyak orang yang terbunuh dalam konflik kekerasan setiap hari, hutan yang hancur dengan kecepatan 2,5 juta hektar per tahun, setiap warga negara yang mesti menanggung hutang negara sebesar 7 juta rupiah, anak SD yang drop out 16 juta, orang-orang yang melaksanakan kejahatan kemanusiaan dibiarkan memperoleh imunitas, dan orang-orang yang hilang tidak ditanyakan lagi keberadaannya. Apakah semua ini dapat diatasi dengan lebih baik dengan memegang teguh hukum yang berlaku di mana keadilan ditegakkan? (dikutik dari http://www.mirifica.net)

Bahasanya halus, tapi isinya keras…. Dan bisa anda tebak, apa jawaban Presiden tercinta kita waktu itu??? Yup…benar. Melengos kayak burung garuda, sambil berkata, ‘tidak perlu saya jawab karena di dalamnya itu sebetulnya sudah ada jawabannya!’

Ya ampyunn………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sampaikan komentar Anda Secara Indah